Namaku
KAMMI. Orang-orang juga memanggilku demikian, lebih praktis dibanding
melafalkan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia. Kalau engkau teringat sesuatu
begitu memanggilku, tentulah sebuah akronim KAMI yang mencatat prestasi besar
(dan akhirnya kelam?) sebuah jaringan gerakan mahasiswa Indonesia dalam rentang
sejarah Indonesia `66-an. Konon, atas alasan citra historis itulah founding
fathers-ku mengambil nama itu, dan atas alasan ideologis menambah tasydid pada
mim hingga KAMMI-lah namaku.
Aku lahir
tanggal 29 Maret 1998 di Malang dalam rentang situasi yang teramat sangat
"enak dan perlu" bagi lahirnya gerakan mahasiswa di negara dunia
ketiga; tirani-otoriter, despotik, tidak adil, dan tidak demokratis. Gerakan
mahasiswa--begitula h aku disebut--adalah bagian dari aktor muda yang selalu
mencoba masuk dalam peta sejarah peradaban bangsa yang selalu saja terhegemoni
oleh orang-orang tua yang bermentalitas "stabilisme" , "klaim
legitimasi dan otoritas", "mapan" dan "status quo".
Kami adalah anak muda secara biologis bahwa keniscayaan takdir membuat manusia
harus mati dan berganti, maupun secara historis bahwa kami adalah generasi baru
Indonesia yang setidaknya "tersucikan" dari kekotoran dan najis
politik generasi lama yang memporakporandakan bangsa ini. Sebagai anak muda
tentu saja kami bernilai istimewa; "energik", "kreatif",
"bening-moralis" , dan tentu saja `anti status quo'.
Wajar
sajalah sehingga orang semacam Arnold Toyenbee dalam buku monumentalnya "The
Study of History", menyebut kami (yang spiritnya diilhami oleh Ibnu
Khaldun) "the creative minority", maupun Jack Newfield yang
menggelari kami sebagai "pengusung pesan-pesan kenabian".
Tetapi aku
tidak lahir begitu saja, benihku adalah benih yang tertanam dalam rahim
Indonesia sejak 25-an tahun silam. Saat itu Soeharto dan para arsitek Orde Baru
begitu ketakutan di usia politiknya yang baru belasan tahun terhadap mahasiswa
yang mulai jenuh dan menentangnya. Daud Yusuf menerjemahkannya melalui proyek
depolitisasi kampus melalui NKK-BKK.
Tiarapnya
gerakan mahasiswa secara politik dimanfaatkan secara kreatif dengan
memanfaatkan peluang yang setidaknya dilihat Orde Baru sebagai sikap apolitis:
kajian keislaman. Generasi baru Islam Indonesia tahun `80-an seolah menemukan
cara yang berbeda dalam memahami Islam dan konteks politik Indonesia saat itu.
Setidaknya itulah yang tergambarkan lewat seruan Nurcholis Madjid--yang lumayan
kontroversial secara ide--"Islam yes, Partai Islam no"
Semangat
baru generasi muda Islam terhimpun dalam usaha untuk meyakini Islam sebagai
alternatif bacaan yang membawa "pencerahan" atas "gelapnya"
dominasi wacana Barat (dan dalam konteks Indonesia adalah dominasi Orde Baru)
dan kemudian usaha membaca Islam secara intelektual untuk merumuskannya dalam
praksis agenda obyektif bangsa. Anak-anak muda Islam tersebut membaca Al-Quran
(dan Sunnah Rasulullah) dengan sepenuh gairah kemudaan dan melakukan eksplorasi
dan elaborasi secara intelektual dan gerakan.
Lahan
persemaianku, Lembaga Dakwah Kampus (LDK) adalah manifestasi dari gairah-gairah
tersebut, hingga dari kampus-kampus besar ia menyebar ke seluruh Indonesia
dengan polanya yang khas: "kajian keislaman", "dalam sel-sel
kecil pembentukan kepribadian" , dan "wacana dengan dasar Al-Quran
dan Sunnah". Fahri Hamzah--mas' ul pertamaku--menyebut nya sebagai
"anak-anak sekolah" yang punya "gagasan untuk berjama'ah',
berkumpul dalam suatu kesadaran akan pentingnya membina diri secara fisik,
mental, dan spiritual" di mana "kesadaran ini berlanjut menjadi
semacam gerakan purifikasi" yang menjadikan "sejarah nabi dan sahabat
sebagai ingatan dasar". Orang menyebutnya sebagai gerakan purifikatif atau
neo-revivalis atau menurut Hasan Hanafi adalah Islam reformis moderat, yang
biasanya disandarkan sebagai sifat dan ideologi sebuah gerakan internasional
yang tumbuh dari Mesir: Ikhwanul Muslimin.
Tetapi,
aktivitas purifikasi yang bergerak seolah secara "bawah tanah" pada
awal 90-an muncul ke ranah publik (kampus) dengan melakukan--menurut
Qodari—"afirmasi" terhadap "politik kampus" dengan masuk
dalam lembaga politik kampus. Periode itulah yang menentukan arah dakwah kampus
yang lebih "terbuka" dan menjelaskan masifnya mobilisasi yang luar
biasa cepat pada tahun 1998 yang melahirkanku- -KAMMI--sebagai sebuah jaringan
kerja gerakan dakwah, sekaligus sebagai "tapal batas" antara dakwah
kampus melalui LDK yang semula apolitis menjadi sebuah gerakan politik baru.
"Maka
tatkala mereka (kaum itu) melupakan peringatan (dan ajaran) yang telah
diberikan pada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk
mereka. Sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang diberikan kepada
mereka, Kami siksa (dan timpakan bencana kepada) mereka dengan sekonyong-konyong,
maka ketika itu mereka terdiam (terpana) dan putus asa (tak tahu harus berbuat
apa)." (Qs. Al-An'am: 44).
Namaku
KAMMI. Aku lahir dan besar dengan sangat cepat, dengan prestasi politik yang
dianggap terlalu hebat untuk gerakan seusiaku. Saat seluruh aksi demonstrasi
1998 masih berpusar di dalam kampus sebagai wilayah yang aman dan terlindungi
oleh kebebasan akademis, aku hadir keluar kampus dengan massa besar (20.000
orang) tanggal 10 April 1998 di "wilayah aman" yang lain yaitu di
mesjid (Al Azhar Jakarta). Aksi yang kemudian kugeliatkan secara masif bersama
elemen bangsa yang lain berturut-turut di berbagai kota, dengan darah yang
terkorbankan di Trisakti, dengan sisipan manuver-manuver politik yang
undercover, yang berpuncak pada kegentingan Jakarta 20 Mei 1998 saat aku, Amin
Rais dan jaring reformasi yang lain merencanakan Aksi Sejuta Ummat di Monas
pada hari Kebangkitan Indonesia. Aksi yang gagal, tapi berbuah esoknya:
Soeharto mundur. Shadaqallaah; Maha Benar Allah dengan firman-Nya.
Lima tahun
pasca Soeharto tumbang ini, kurenungi jejak-jejak langkah politikku. Kulihat
setidaknya ada empat fase langkah politikku yang (ternyata) semua berjejak
sama: isu kepemimpinan nasional. Sampai Soeharto lengser itulah fase pertamaku,
dimana aku berhasil masuk dalam pusaran politik yang menentukan serta dimana
interaksi antar elemen gerakan perubahan teramat sangat kuat. Semua berada pada
lafadz yang sama: Turunkan Soeharto. Setelah itu? Kegagalan membangun platform
Indonesia secara bersama dan mendefinisikan agenda reformasi yang konkrit dan
sloganistis meruntuhkan bulan madu gerakan-gerakan `98. Sekat ideologis dan
kepentingan menyeruak begitu pekat. Inilah fase keduaku: fase Habibie hingga
Pemilu `99.
Usahaku
meyakinkan bahwa reformasi harus menyeluruh, dan ia butuh waktu dan butuh
penumbuhan institusi demokratis harus berkelindan dengan situasi sosial politik
Indonesia yang rumit. Isu Sidang Istimewa `99 merubuhkan bangunan konsolidasi
gerakan yang memecah gerakan--jadilah darah kembali menetes di Semanggi dan
elemen masyarakat mengacungkan pedang dan tombaknya. Aku mencoba meredakannya
dengan mengatakan bahwa menolak maupun menerima SI secara mutlak adalah salah,
pilihan terbaiknya (menurutku) adalah memastikan bahwa SI menjamin reformasi total
dan justru tidak meneguhkannya sebagai ruang baru bagi Orde Baru.
Saat itulah
kukenalkan enam visi reformasi yang kemudian menjadi jargon utama sekaligus
parameter evaluatif rezim bagi gerakan pro-reformasi pasca Orba yang meliputi:
(1) penegakkan supremasi hukum dengan jalan pengadilan Soeharto (2) menghapus
dwifungsi ABRI (3) mengamandemen UUD 45 (4) otonomi daerah yang luas (5)
penegakkan tradisi demokrasi (6) pertanggung jawaban Orde Baru. Martin van
Bruinessen mencatatkan fase Habibie sebagai situasi dikotomis antara pilihan
politik kaum muslimin (termasuk Amin Rais) yang menganggap Habibie adalah
"orang yang cukup" untuk menjamin transisi demokratis sekaligus
menjamin "kepentingan" umat Islam, dengan pilihan politik kaum sekular
yang menempatkan Habibie adalah "orang yang cacat" karena ia adalah
murid Soeharto sehingga mereka memunculkan tokoh semacam Gus Dur, Megawati, dan
Sri Sultan HB X yang--kata Bruinessen-- ironisnya karena alasan tertentu justru
bukanlah orang yang secara tajam menyuarakan agenda reformasi saat Orde Baru
masih tegar.
Hiruk pikuk
fase Habibie selesai dengan Pemilu `99 yang melejitkan PDIP,
"mengembalikan" Golkar dan memastikan kubu pro reformasi kembali
terkubur oleh realitas politik. Gus Dur yang secara mengejutkan terpilih melalui
gesekan-gesekan politik yang secara gamblang semakin menegaskan kekalahan
agenda reformasi pada pragmatisme politik. Gus Dur pulalah yang selama ini
disebut-sebut sebagai demokrat (setidaknya karena pada masa Soeharto ia pernah
dirikan Forum Demokrasi) secara mengejutkan pula menjadi ademokratis, gagal
membentuk negara yang kuat, terlebih berpikir tentang agenda reformasi. Inilah
fase ketiga yang kembali mesti kulakoni: menurunkan Gus Dur! Agenda ini
akhirnya mau tidak mau harus beririsan dengan pekatnya agenda politik di
parlemen.
Sungguh, aku
selalu berpikir bahwa Gus Dur semestinya adalah aktor politik yang dengan
seluruh kebesarannya mampu menunaikan tugasnya. Tetapi ia gagal, rakyat juga
berkata begitu, aku pun turun kembali dan berteriak agar ia turun. Sebuah
pilihan baru yang kuambil secara lebih radikal--karena kesabaran yang semakin
habis--bahwa akhirnya siapa saja yang gagal ia harus berhenti. Resiko yang
kuhadapi pun tidak main-main, yang paling mahal tentu saja adalah konflik
horisontal yang kembali menjadi bagian pertempuran elit politik. Berhadapan
dengan pilihan sebagian gerakan kiri yang menandaskan pembubaran Golkar dan
pengadilan Orde Baru sebagai satu-satunya pilihan dengan menafikan kemungkinan
Orde Baru menyusup di tubuh Gus Dur. Gus Dur pun dimundurkan parlemen, dan
memunculkan Megawati--dengan ironisme Indonesia yang selalu saja lupa pada
sejarah--dengan problem yang sama.
Secara lebih
reflektif, aku mencoba memahami kecenderunganku untuk selalu memilih isu khas
kepemimpinan nasional. Pada satu sisi, ini meneguhkan posisiku yang selalu
menjadi "oposan abadi" dan kelompok penekan (pressure group) bagi
siapa saja yang berkuasa. Pada sisi lain, konsekuensi dari pilihan semacam ini
adalah sifatnya yang pragmatis, dan pekat dengan kepentingan politik elit,
karenanya menyebabkan konflik horisontal (akibat elit yang tidak pernah pede
bertempur secara fair), sekaligus ia menutup pada agenda yang lebih substantif:
agenda kultural dan agenda intelektual.
Masalahnya
adalah karena Indonesia belum cukup dewasa untuk bertanggung jawab
menyelesaikan proses demokratisasi. Pada situasi semacam itu, pilihan yang
paling moderat (dan konservatif) adalah memang mewujudkan demokrasi model
Schumpeterian yaitu dengan memastikan prosedur-prosedur dan koridor demokrasi
dibangun dan dijalankan secara konsisten, sembari diimbangi dengan pilihan
demokrasi partisipatif yang memastikan rakyat memungkinkan terlibat secara
aktif dalam agenda politik yang biasanya diklaim sebagai wilayah elit politik.
Inilah pilihan yang disodorkan oleh Eep Saefullah Fatah dengan istilah
"kesabaran revolusioner" dengan mengkritik pilihan kedua yang ia
sebut "ketergesaan politik" yaitu dengan secara radikal-revolusione r
kembali meruntuhkan rezim yang--selalu saja--Orbaism.
"Mengapa
kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah
baik laki-laki, perempuan, maupun anak-anak yang semuanya berdoa: "Ya
Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekah) yang dzalim penduduknya,
dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari
sisi Engkau". (Qs. An-Nisa: 75).
Namaku
KAMMI. Tasydid pada mim dalam namaku adalah representasi ideologisku. Islam
bagiku adalah energi yang amat dahsyat sekaligus samudera yang amat luas.
Bagiku, Islam lahir untuk menentang dominasi dan hegemoni ide serta kekuasaan,
ia menegaskan akan ketiadaan yang mutlak kecuali Allah Swt. Islam juga agama
yang sangat kenyal (pervasive) mengikuti zaman, hingga Islam akan sulit dilihat
sebagai agama yang out of date sehingga menjadi monumen ritual budaya semata,
atau bahkan dipinggirkan dari peran-peran duniawi menjadi sekedar jalan
spiritualitas. Bacaan terhadap Al-Quran dan Sunnah dilengkapi dengan metodologi
(seperti Ushul Fiqh, dan Musthalah al-Hadits) yang memungkinkan untuk menjawab
setiap pertanyaan zaman. Karena itulah, Islam selalu merupakan agama yang
syamil wamutakammil (lengkap dan sempurna).
Keyakinanku
yang utuh semacam inilah sebenarnya yang telah melahirkan kader-kader dakwah
yang kata Tempo "sederhana, sopan, rendah hati (tawadlu), rajin ibadah,
dan menegakkan sunnah" atau dalam bahasa Eko Prasetyo "berwajah teduh
bermata sejuk--lugu dan murni, tetapi tampil dengan gagah, berani dan mungkin
sedikit angkuh". Terlebih digambari dengan sejumput keistimewaan kalau tidak--menurut
Bachtiar Effendy--"kemewahan " (luxury) bahwa mereka adalah generasi
muda Islam terdidik yang terjalin dalam jaringan gerakan secara solid dan
militan, barang berharga yang susah ditemukan oleh teman-temanku gerakan
mahasiswa lain.
Karena itulah,
dengan seluruh kelengkapannya Islam sebenarnya selain ia telah menyediakan
energi bagi ranah politik yang selama ini kupakai, ia juga memberikan energi
gerakan dan menjadi samudera eleborasi bagi ranah lain yang sayangnya jarang
kumasuki: ranah kultural dan ranah intelektual. Ranah politik memang memastikan
tekanan yang besar terutama bagi agenda pragmatis, tetapi ia meninggalkan
sebuah ruang kosong yang justru berkontribusi dalam penunaian agenda perubahan
bangsa. Kuamati bahwa realitas politik beberapa tahun pasca Soeharto adalah
hiruk pikuk "seolah-olah" reformasi (alias reformasi palsu), kalau
tidak justru adalah penggagahan reformasi oleh kepentingan nafsu kekuasaan dan
kekayaan. Orde Baru telah berkembang jauh dari sekedar struktur politik menjadi
mentalitas dan budaya, sehingga menumbangkan Orde Baru sesungguhnya bukanlah
sekedar menggulung aktor-aktornya tapi justru merevolusi konstruksi mental yang
ia bangun.
Ironisnya,
seringkali aku harus terkejut melihat fenomena-fenomena Islam di Indonesia yang
telah menyelusup secara "diam-diam" dalam relung-relung batin dan
ruang-ruang masyarakat padahal akulah (setidaknya benih yang menumbuhkanku)
adalah salah satu yang dulu mengenalkannya. Telah banyak cendekiawan yang
menawarkan proposal agenda kultural itu: Kuntowijoyo dengan ilmu sosial
profetiknya, Amin Rais dengan tauhid sosialnya, Muslim Abdurrahman dengan Islam
transformatifnya. Bahkan Yusuf Qaradhawi amat membantu dengan merumuskan
seperangkat fiqih yang membuatnya terasa mudah: fiqh perbedaan (ikhtilaf), fiqh
pertimbangan (muwazanat), fiqh prioritas (aulawiyat), fiqh nash dalam kerangka
maqashidu syari'at, fiqh realitas (waqi'), dan fiqh perubahan (taghyir). Yang
mereka butuhkan adalah kemauanku mengelaborasinya secara intelektual, dan
mengoperasikannya dalam lapangan gerakan. Itu saja.
Diversifikasi
agenda mungkin itulah yang mesti kulakukan saat mentas dari usia balita karena
"perang Badar di garis depan dimenangkan karena Ibnu Ummi Maktum telah
menjaga Madinah". Agar "potong generasi" atau "revolusi"
tidak sekedar menjadi slogan. Aku mahasiswa, Aku muslim, Aku orang Indonesia.
Namaku KAMMI.
***
* Disadurkan
kembali Dari Buku "Mengapa Aku Mencintai KAMMI: Serpihan Hati Para
Pejuang" Penerbit Muda Cendekia, Bandung Maret 2010
0 komentar:
Posting Komentar