Selasa, 22 Mei 2012

Resensi Buku


MENIKMATI DEMOKRASI
(Muhammad Anis Matta)

Demokrasi,satu pranata yang telah banyak menyihir dunia. Kebebasan adalah  paling sentral dalam demokrasi. Diskursus seputar demokrasi, masih tetap hangat, terlebih kalangan gerakan islam. Ada dua sikap ekstrim tentang demokrasi, ada yang begitu memujanya sebagaimana pernyataan Francis Fukuyama dalam bukunya “The End of History”, tetapi di sisi lain ada yang memandang sistem ini sebagai penyebab hancurnya sistem kemanusiaan, keluar dari nash-nash Qur’an, dan lain sebagainya. Bagaimana bersikap terhadap fenomena demokrasi ini?
Anis matta dengan ide briliannya memberikan inspirasi terutama bagi para pegiat harakah islamiyah agar tidak bersikap ekstrim : terlalu mendewakan ataupun antipati menolaknya. Ide-ide besar anis matta, merupakan refleksi dari terminology Sayyid Quthub, yakhtalituuna walakin yatamayyazuun (bergaul dan bercampur dengan masyarakat tapi tidak terlarut di dalamnya)
            Setiap individu dalam masyarakat demokrasi sama dengan masyarakat yang lain. Semua sama-sama bebas dalam berpikir, berekpresi, dalam bertindak, dan memilih jalan hidup. Tidak boleh ada rasa takut, tidak boleh ada tekanan terutama dari militer. Kebebasan hanya di batasi oleh kebebasan yang sama.
            Fungsi Negara hanyalah memfasilitasi masyarakat untuk hidup bersama secara damai. Negara bertugas melindungi setiap individu dan setiap entitas untuk hidup menurut cara mereka. Dasar yang digunakan Negara untuk bekerja adalah kesepakatan bersama antar warga Negara, sesuatu yang kemudian kita sebut konstitusi, undang-undang atau hukum.
            Maka semua orang menikmati demokrasi. Para kapitalis menikmati demokrasi karena inilah paying politik yang memberi akses ke semua sudut pasar potensial. Para buruh juga menikmati demokrasi karena inilah paying politik yang memberi perlindungan hak-hak dan kebebasan bekerja. Dakwah juga menikmati demokrasi karena disini para dai’ menemukan kebebasan untuk bertemun dan berinteraksi secara terbuka dan langsung dengan semua objek dakwah.
            Tapi, kenikmatan ini ada harganya. Terutama bagi dakwah. Kita memang bebas berdakwah, tapi para pelaku kemungkaran juga bebas melakukan kemungkaran. Yang berlaku di sini bukan hukum benar-salah, tapi hukum legalitas. Sesuatu itu harus legal, walaupun salah. Dan, sesuatu yang benar tapi tidak legal adalah salah. Begitulah aturan main demokrasi.
            Yang kemudian harus kita lakukan adalah bagaimana mengintegrasikan kebenaran dan legalitas. Bagaimana membuat sesuatu yang salah dalam pandangan agama menjadi tidak legal dalam pandangan hukum positif. Secara terbalik, itu pulalah yang dilakukan para pelaku kejahatan, para mafia narkoba harus mencuci uangnya agar bisa menjadi hak milik yang legal.
            Maka penetrasi kekuasaan dalam Negara demokrasi harus dilakukan dengan urutan-urutan. Pertama, menangkanlah wacana public agar opini public berpihak kepada kita. Kedua, formulasikan wacana itu ke dalam draf hukum untuk di menangkan dalam wacana legislasi melalui lembaga legislative. Kemenangan legislasi ini menjadi legitimasi bagi Negara untuk mengeksekusinya. Ketiga, pastikan bahwa para eksekutif pemerintah melaksanakan dan menerapkan hukum tersebut.
            Jadi, itulah tiga pusat kekuasaan dalam Negara demokrasi : wacana public, legislasi, dan eksekusi. Pengadilan itu lembaga netral. Signifikan tapi tidak menentukan proses pembentukan struktur kehidupan masyarakat. Melakukan penetrasi ke tiga pusat kekuasaan itu bukanlah pekerjaan mudah. Kita akan menemui banyak ranjau saat hendak membentuk opini public untuk memenangkan wacana public. Sebab wacana public adalah dunia tanpa batasan.
            Jadi, misalnya kita ingin menghabisi pornografi di Negara ini, susunlah struktur gagasan yang kuat untuk meyakinkan public betapa merugikannya pornografi bagi kehidupan kita. Jika kita menang di sini, buatlah sebuah rancangan undang-undang untuk membasmi segala bentuk pornografi. sekali lagi, jika kita menang disini, kontrollah secara ketat apakah pemerintah melaksanakannya secara baik atau tidak. Kalau tidak, kita tuntut pemerintah.
            Demikianlah dakwah harus bekerja di era demokrasi. Ada kebebasan yang kita nikmati bersama. Tapi, juga tersedia “ cara tersendiri” untuk mematikan kemungkaran dan melakukan penetrasi kekuasaan. Anggaplah ini sebuah seni yang harus dikuasai para politisi dakwah.( Dwi Susanti, 13 Februari 1991, MPK  KAMMI IKIP PGRI, Pend. Fisika 2008)

0 komentar:

Posting Komentar