(Muhammad Anis Matta)
Demokrasi,satu pranata yang telah banyak menyihir dunia.
Kebebasan adalah paling sentral dalam
demokrasi. Diskursus seputar demokrasi, masih tetap hangat, terlebih kalangan
gerakan islam. Ada dua sikap ekstrim tentang demokrasi, ada yang begitu
memujanya sebagaimana pernyataan Francis Fukuyama dalam bukunya “The End of History”, tetapi di sisi
lain ada yang memandang sistem ini sebagai penyebab hancurnya sistem
kemanusiaan, keluar dari nash-nash Qur’an, dan lain sebagainya. Bagaimana
bersikap terhadap fenomena demokrasi ini?
Anis matta dengan ide briliannya memberikan inspirasi terutama bagi
para pegiat harakah islamiyah agar tidak bersikap ekstrim : terlalu mendewakan
ataupun antipati menolaknya. Ide-ide besar anis matta, merupakan refleksi dari
terminology Sayyid Quthub, yakhtalituuna walakin yatamayyazuun
(bergaul dan bercampur dengan masyarakat tapi tidak terlarut di dalamnya)
Setiap individu
dalam masyarakat demokrasi sama dengan masyarakat yang lain. Semua sama-sama
bebas dalam berpikir, berekpresi, dalam bertindak, dan memilih jalan hidup.
Tidak boleh ada rasa takut, tidak boleh ada tekanan terutama dari militer.
Kebebasan hanya di batasi oleh kebebasan yang sama.
Fungsi Negara
hanyalah memfasilitasi masyarakat untuk hidup bersama secara damai. Negara
bertugas melindungi setiap individu dan setiap entitas untuk hidup menurut cara
mereka. Dasar yang digunakan Negara untuk bekerja adalah kesepakatan bersama
antar warga Negara, sesuatu yang kemudian kita sebut konstitusi, undang-undang
atau hukum.
Maka semua orang
menikmati demokrasi. Para kapitalis menikmati demokrasi karena inilah paying
politik yang memberi akses ke semua sudut pasar potensial. Para buruh juga
menikmati demokrasi karena inilah paying politik yang memberi perlindungan
hak-hak dan kebebasan bekerja. Dakwah juga menikmati demokrasi karena disini
para dai’ menemukan kebebasan untuk bertemun dan berinteraksi secara terbuka
dan langsung dengan semua objek dakwah.
Tapi, kenikmatan
ini ada harganya. Terutama bagi dakwah. Kita memang bebas berdakwah, tapi para
pelaku kemungkaran juga bebas melakukan kemungkaran. Yang berlaku di sini bukan
hukum benar-salah, tapi hukum legalitas. Sesuatu itu harus legal, walaupun
salah. Dan, sesuatu yang benar tapi tidak legal adalah salah. Begitulah aturan
main demokrasi.
Yang kemudian harus
kita lakukan adalah bagaimana mengintegrasikan kebenaran dan legalitas.
Bagaimana membuat sesuatu yang salah dalam pandangan agama menjadi tidak legal
dalam pandangan hukum positif. Secara terbalik, itu pulalah yang dilakukan para
pelaku kejahatan, para mafia narkoba harus mencuci uangnya agar bisa menjadi
hak milik yang legal.
Maka penetrasi
kekuasaan dalam Negara demokrasi harus dilakukan dengan urutan-urutan. Pertama, menangkanlah wacana public
agar opini public berpihak kepada kita. Kedua,
formulasikan wacana itu ke dalam draf hukum untuk di menangkan dalam wacana
legislasi melalui lembaga legislative. Kemenangan legislasi ini menjadi
legitimasi bagi Negara untuk mengeksekusinya. Ketiga, pastikan bahwa para eksekutif pemerintah melaksanakan dan
menerapkan hukum tersebut.
Jadi, itulah tiga
pusat kekuasaan dalam Negara demokrasi : wacana public, legislasi, dan
eksekusi. Pengadilan itu lembaga netral. Signifikan tapi tidak menentukan
proses pembentukan struktur kehidupan masyarakat. Melakukan penetrasi ke tiga
pusat kekuasaan itu bukanlah pekerjaan mudah. Kita akan menemui banyak ranjau
saat hendak membentuk opini public untuk memenangkan wacana public. Sebab
wacana public adalah dunia tanpa batasan.
Jadi, misalnya kita
ingin menghabisi pornografi di Negara ini, susunlah struktur gagasan yang kuat
untuk meyakinkan public betapa merugikannya pornografi bagi kehidupan kita.
Jika kita menang di sini, buatlah sebuah rancangan undang-undang untuk membasmi
segala bentuk pornografi. sekali lagi, jika kita menang disini, kontrollah
secara ketat apakah pemerintah melaksanakannya secara baik atau tidak. Kalau
tidak, kita tuntut pemerintah.
Demikianlah dakwah
harus bekerja di era demokrasi. Ada kebebasan yang kita nikmati bersama. Tapi,
juga tersedia “ cara tersendiri”
untuk mematikan kemungkaran dan melakukan penetrasi kekuasaan. Anggaplah ini
sebuah seni yang harus dikuasai para politisi dakwah.( Dwi Susanti, 13 Februari 1991, MPK KAMMI IKIP PGRI, Pend. Fisika 2008)
0 komentar:
Posting Komentar