Semua orang setuju kalau dikatakan bahwa zaman sekarang itu zamannya
informasi bebas. Di mana dengan kemajuan teknologi dewasa ini semua bisa
kita tahu hanya dengan sekali klik, dan tidak harus menunggu waktu yang
lama. Bahkan kurang dari satu menit pun kita bisa tahu apa yang sedang
terjadi di pojokan “Suriname” sana.
Rasanya sulit dipercaya kalau ada di antara kita yang tangannya masih kosong dari gadget. Semua orang memegang “batangan besi” idiot tersebut, dengan segala macam merek, bentuk dan manfaatnya. Ya minimal sebuah ponsel pasti lah dimiliki, walaupun yang kelasnya baru bisa sms dan telepon saja.
Dunia ini rasanya sudah tidak mempunyai tembok penghalang lagi, semua serba mudah. Orang di Indonesia dengan mudah bisa berbincang dan saling memandang dengan ia yang ada nun jauh di seberang samudera sana, semuanya teknologi yang membantu. “Connecting without walls” begitu istilahnya; bisa berkomunikasi tanpa ada tembok penghalang.
Yang hebatnya lagi bahwa kemajuan ini benar-benar masif dan masuk ke daerah-daerah terpencil, gang-gang sempit, serta jalan-jalan becek. Artinya memang semua kalangan sudah bisa mengakses fasilitas itu semua. Tanpa harus melihat umur, status sosial, apalagi status martial. Entah itu melalui sebuah papan besi berukuran 14, 12 dan 10 inch, atau juga melalui batangan besi yang bertombol (ponsel pintar). Semua benar-benar mudah!
“Mendekatkan yang jauh”, begitu kata orang-orang! Ya karena memang semua jarak menjadi nihil dengan adanya ini semua! Tapi sadar atau tidak, justru semua kemajuan teknologi ini bisa (dan memang sudah terjadi) MENJAUHKAN YANG DEKAT.
Ditempat-tempat umum kita bisa dengan mudah menemukan itu semua. Di busway kan, kereta, bus, bahkan angkot pun, semua yang dekat menjadi jauh. Dua orang yang duduk bersampingan saling sibuk berjempol ria dan khusyu’ memandang layar berukuran 3-5 inch nya sambil tersenyum dan terkadang juga terbahak-bahak, tapi tidak jarang juga yang memasang tampang “sewot”. Dan dia sudah benar-benar tidak peduli siapa dan apa yang di samping kiri dan kanannya.
Di kelas-kelas belajar pun demikian, di jam istirahat ataupun ketika sang guru/dosen tak hadir. Semua peserta didik layaknya orang yang baru masuk kelas di hari pertama, semua tidak saling kenal dan tanpa sapa. Sebab mereka tenggelam dalam buaian laptop dan gadget mereka tanpa peduli ada teman-temannya di satu ruangan itu.
Keadaan yang terjadi di rumah-rumah pun tak jauh berbeda. Sibuk dengan dunia maya-nya, seorang pemuda tak tahu kalau tetangganya baru meninggal dunia malam hari, dia baru kaget ketika paginya banyak tamu di rumah tetangganya. Bukan cuma tetangga, bahkan orang tua nya pun seakan menjadi orang asing yang berada dalam satu rumah.
Ya benar-benar mendekatkan yang jauh, tapi buruknya, ia juga MENJAUHKAN YANG DEKAT.
Semaju apapun teknologi sekarang ini, status kita tetaplah sebagai seorang muslim yang punya ikatan kuat dengan syariah, dan itu tak mungkin terlepas. Syariat ini memang menganjurkan kita untuk terus menyambung silaturahim, tapi melakukan sebuah syariat bukan berarti harus mengabaikan kewajiban yang lain.
Sibuk dengan yang jauh tanpa tahu siapa yang ada di kiri dan kanan, itu bukan sikap ideal seorang muslim. Saling sapa dan lempar senyuman itu mestinya haruslah dilakukan kepada ia yang berada di samping bukan malah sibuk bersiul ria dengan mereka yang tidak nyata di dunia maya.
Sudah saatnya kita bersalaman dan memberi salam juga mengenal siapa yang duduk di kiri dan kanan kita.
Wallahu A’lam.
Rasanya sulit dipercaya kalau ada di antara kita yang tangannya masih kosong dari gadget. Semua orang memegang “batangan besi” idiot tersebut, dengan segala macam merek, bentuk dan manfaatnya. Ya minimal sebuah ponsel pasti lah dimiliki, walaupun yang kelasnya baru bisa sms dan telepon saja.
Dunia ini rasanya sudah tidak mempunyai tembok penghalang lagi, semua serba mudah. Orang di Indonesia dengan mudah bisa berbincang dan saling memandang dengan ia yang ada nun jauh di seberang samudera sana, semuanya teknologi yang membantu. “Connecting without walls” begitu istilahnya; bisa berkomunikasi tanpa ada tembok penghalang.
Yang hebatnya lagi bahwa kemajuan ini benar-benar masif dan masuk ke daerah-daerah terpencil, gang-gang sempit, serta jalan-jalan becek. Artinya memang semua kalangan sudah bisa mengakses fasilitas itu semua. Tanpa harus melihat umur, status sosial, apalagi status martial. Entah itu melalui sebuah papan besi berukuran 14, 12 dan 10 inch, atau juga melalui batangan besi yang bertombol (ponsel pintar). Semua benar-benar mudah!
“Mendekatkan yang jauh”, begitu kata orang-orang! Ya karena memang semua jarak menjadi nihil dengan adanya ini semua! Tapi sadar atau tidak, justru semua kemajuan teknologi ini bisa (dan memang sudah terjadi) MENJAUHKAN YANG DEKAT.
Ditempat-tempat umum kita bisa dengan mudah menemukan itu semua. Di busway kan, kereta, bus, bahkan angkot pun, semua yang dekat menjadi jauh. Dua orang yang duduk bersampingan saling sibuk berjempol ria dan khusyu’ memandang layar berukuran 3-5 inch nya sambil tersenyum dan terkadang juga terbahak-bahak, tapi tidak jarang juga yang memasang tampang “sewot”. Dan dia sudah benar-benar tidak peduli siapa dan apa yang di samping kiri dan kanannya.
Di kelas-kelas belajar pun demikian, di jam istirahat ataupun ketika sang guru/dosen tak hadir. Semua peserta didik layaknya orang yang baru masuk kelas di hari pertama, semua tidak saling kenal dan tanpa sapa. Sebab mereka tenggelam dalam buaian laptop dan gadget mereka tanpa peduli ada teman-temannya di satu ruangan itu.
Keadaan yang terjadi di rumah-rumah pun tak jauh berbeda. Sibuk dengan dunia maya-nya, seorang pemuda tak tahu kalau tetangganya baru meninggal dunia malam hari, dia baru kaget ketika paginya banyak tamu di rumah tetangganya. Bukan cuma tetangga, bahkan orang tua nya pun seakan menjadi orang asing yang berada dalam satu rumah.
Ya benar-benar mendekatkan yang jauh, tapi buruknya, ia juga MENJAUHKAN YANG DEKAT.
Semaju apapun teknologi sekarang ini, status kita tetaplah sebagai seorang muslim yang punya ikatan kuat dengan syariah, dan itu tak mungkin terlepas. Syariat ini memang menganjurkan kita untuk terus menyambung silaturahim, tapi melakukan sebuah syariat bukan berarti harus mengabaikan kewajiban yang lain.
Sibuk dengan yang jauh tanpa tahu siapa yang ada di kiri dan kanan, itu bukan sikap ideal seorang muslim. Saling sapa dan lempar senyuman itu mestinya haruslah dilakukan kepada ia yang berada di samping bukan malah sibuk bersiul ria dengan mereka yang tidak nyata di dunia maya.
Sudah saatnya kita bersalaman dan memberi salam juga mengenal siapa yang duduk di kiri dan kanan kita.
Wallahu A’lam.
0 komentar:
Posting Komentar