Awan biru menjadi payung disiang itu. Matahari mulai
meninggi menanda pagi telah berlalu. Dengan hati deg-degan ku tetap berdiri di
barisan yang rapi. Berdiri di tengah akhwat-akhwat yang tak kukenal. Terbagi 2
barisan ikhwan dengan akhwat yang terhijab berapa meter. Yang ku tahu di garis
terdepan shaf akhwat ada mba Dini, senior yang mengajak ku berpanas ria.
Terlihat Mba dini dengan semangat membawa spanduk bertuliskan misi yang tak
kumengerti. Dengan slayer yang menutupi wajahnya, mba Dini berniat menghindari wartawan yang
ingin mendokumentasikan. Ku hanya diam untuk memahami suasana ketika itu. Tatapan
penuh tanya kulempar di jejeran gedung bertingkat yang dihadapanku. Inilah
pertama kali ku injak kaki ditempat itu.
Seorang ikhwan mulai berorasi. Isu yang sedang
hangat menjadi topik. Ku tahu topik itu menjadi terdepan di tayangan berita stasiun
tv swasta di sepanjang malam. Ku tetap menyimak meski tak paham apa yang
dikatakannya. Tetesan – tetesan keringat mulai memenuhi wajahku, ku hanya
menyapunya dengan tisu yang telah kusediakan dari awal. Ku berharap segera
usai. Terlihat ibu baruh baya hanya tersenyum melihat kelakuan kami atau 2
siswi SMA dengan sinisnya menatap spanduk-spanduk yang tertampang jelas
dipinggir jalan. Ku terus menunduk, menahan malu. Apa yang telah kulakukan di hari
itu?
“ Dek, anti sakit ya?”, sebuah pertanyaan yang
membuyarkan lamunanku. Akhwat itu hanya tersenyum. “ Gak kok mbaa, hanya
kepanasan aja…”, jawabanku ngasal tanpa ekspresi. Tapi sejujur-jujurnya ku dah
gak kuat untuk bertahan lebih lama. Tapi ku menyesal telah melontarkan jawaban
itu. Oh…mba Dini ku mau pulang???, teriak dalam hati.
Setelah berjam-jam seperti patung kepanasan
akhirnya….
“Mbaaa Risa…mbaaa Risa”, teriak Reyna mengguncang
wisma Al-Quds. Reyna dengan wajah memelas segera menghampiri sang mas’ul yang
lagi membaca buku…
“ Mba ngapain sih aksi kayak gituan…kan nahan malu
diliatin orang…ku gak mau kalau diajak lagi ma mba Dini” , kataku dengan
mengebu-ngebu.
“ Hmmm kan enak bisa difoto wartawan dek..hehehe”, Jawab
Mba Risa bercanda padahal sudah kuperhatikan dengan serius mimik wajahnya yang
sejuk. Mba Risa tersenyum ketika mba Dini menghampiri dan memberikan es teh
sebagai imbalan menemani aksi di hari itu. Lumayan sebagai penenang hati
setelah seharian dijebak oleh Mba dini. Mba Risa pelan-pelan menjelaskan
kepadaku. Sebuah aksi yang bukan sekadar mengekspresikan pendapat dimuka umum.
Yah sebagai anak baru diwajihah itu, keterkejutan yang mendalam ketika
dilapangan menjadi dilema tersendiri. Tidak seperti yang dibayangkan, tanpa
bentrokan dan terjaga hijab nya sebagai poin positif buat wajihah itu. Lagi dan
lagi wajihah itu.
Tapi satu hal yang membuatku tak pernah bertanya
tentang tempat aksi itu. Ku hanya berpikir haruskah ditempat itu. Yah nalar
selalu meminta lebih untuk mencari jawaban. Cerita baru akan termulai tanpa
terduga.
“ Apa nak…kamu ikutan
demo? Bapak dan ibumu biayai kamu sekolah tinggi bukan buat demo…nak nak…gak
kasihan ya…gak usah ikutan KAMMI? Gak usah ikutan kegiatan…belajar saja…”, nasehat
ibu yang khawatir melihat anaknya melakukan hal tak wajar dibanding teman
sebaya. Hal yang tak pernah kuduga ayah dan ibu mengetahui aksiku yang pertama.
Tanpa seijin mereka ku lakukan dengan diam. Dan sejuta nasehat bijak terlontar
dari bibir mereka tanda kepedulian kepada anak kesayangannya. Tapi tak satupun
nasehat itu mampu ku lakukan. Bukan bermaksud berdurhaka tapi kelak akan
kupahami sebagai tujuanku. Ku lupa seorang sepupu juga berada di satu kampus
denganku. Andi namanya. Diakah yang melaporkanku? Mengetahui bila aku bergabung
dengan wajihah itu. Yah Andi setingkat diatasku yang diberi amanah Bapak dan
Ibu untuk menjaga ku. Meski pemahamanku kurang mengenai muhrim tapi kuhormati
Andi sebagai anak dari pakdeku. Yang kutahu Andi juga bergabung dengan elemen
gerakan mahasiswa yang berbeda denganku. Alasan yang dipaparkan tentang wajihah
ku tak membuat kuragu. Ekstrim, kerjaannya demo, aliran sesat dan masih banyak
tapi tak ingin kusebutkan lebih lanjut. Sebuah episode baru yang menjadi
tantangan tersendiri. Ketidaksukaannya pada wajihah yang kupilih mendorong
untuk lebih mengenal KAMMI. Semakin kukenal dan pahami memberikan banyak alasan
untuk bertahan. Bertahan bersama saudaraku yang memiliki tekad yang sama dalam naungan
KAMMI.
Tiara Cantika__28 November 2008__Di Al-Quds yang damai
Allahu akbar…allahu akbar…Terdengar suara Adzan
pertanda dhuhur telah tiba. Tiara segera menutup buku diary nya yang ditulis
empat tahun yang lalu. Buku yang menjadi kenangan masa lalu diawal
perjuangannya. Buku yang menjadi catatan penting yang akan mengubah jalan hidup
pilihan Tiara. Di atas ijin Allah, estafet dakwah kampus dalam amanah di
wajihah yang dipilihnya akan segera diberikan kepada adik-adiknya.
Besok Tiara akan diwisuda S1….^^
( Siti Hasmah_Pen. MTK 2010_Kadep. Humas)
0 komentar:
Posting Komentar