“Aksi,,,
lagi lagi aksi..huh bete”, grutuku
“
Katanya aktivis, kok kepanasan aja dah nyerah”, pancing mas Yusuf disampingku.
“Gak
ketemu mas Galih tadi”, sambil kumanyunkan bibirku sebagai ungkapan kekecewaanku.
“Itu
sih niatnya belum jelas, makanya lurusin niat dulu, biar kegiatan yang kita
lakukan tambah berkah, kalo gini kan kamu malah capek sendiri yang didapat,
apalagi niat kamu Cuma ingin ketemu mas Galih, itu mah sudah keluar dari
konteks kredo gerakan adekku sayang…”,
ceramahnya panjang lebar.
“Tau
ah mas, pusing”, jawabku sambil ngeloyor pergi meninggalkan mas Yusuf sendirian
di teras.
Banyak yang bilang kini aku berubah,
ya, aku kini berubah, bukan hanya mama dan papa yang bilang, tetapi mas Yusuf
pun ikut mengomentari perubahanku ini. Bahkan teman-teman dikampus juga
mengatakan demikian, terlebih lagi teman sekelasku.
“Kamu
sekarang beda ya Sa?”, Tanya Anita sore itu.
“Kamu
sekarang aktif banget ikut kegiatan, ajak-ajak dong Sa?”, komentar doni komting
kelasku.
“Wah
sekarang Sasa lagi kena virus merah jambu ya?”, celetuk Hana dan Ridwan
bersamaan.
Aku
hanya bisa nyengir kuda mendengar komentar mereka tanpa berkutik, hanya rona
merah diwajah yang terlihat jelas.
Entahlah apa yang ada di otakku
sekarang, hanya galih pramilu itulah yang kian melekat di otakku. Bahkan bukan
hanya namanya saja, ulasan senyum yang merekah kini tertancap dengan jelas di
lubukku yang terdalam, sedalam ku tahan rasa ini.
Ya,
aku gak mau ada orang lain yang tau tentang hal ini, biarkan hanya aku yang
tau, bukankah ini kan lebuh baik, daripada aku harus mengumbarnya, tanpa kau
tau perasaan mas Galih, “ya jelas lah Sa, gimana mas Galih mau mengumbar
perasaannya, mas Galihkan terlahir dari tarbiah”, gumam hatiku lirih.
Setiap
kali ada kegiatan aksi, akulah yang terjun kelapangan nomor satu, tidak lain
tidak bukan, ya, aku hanya ingin melihat mas Galih. Meski hanya dengan melihat
senyumnya dari kejauhan saja, itu sudah cukup bagiku.
Diteras,
pukul 15.35
Selepas
sholat jamah dengan mas Yusuf, seperti biasa kami habiskan untuk bercanda,
sebagai adek satu-satunya aku memang dekat dengan masku, bahkan apa yang aku
lakukan aku tak sungkan-sungkan untuk menceritakannya. Sering kami beda
pendapat namun itu tak membuat aku dan mas Yusuf saling menjatuhkan satu sama
yang lain, bahkan kami punya hobbi yang sama, yaitu membaca buku, namun ada hal
yang membedakan dari konsumsi kami, ya, aku lebih suka membaca novel. Sedangkan
mas Yusuf lebih ke bacaan.
Bagiku
membaca novel itu menyenangkan, selain dapat ide dan inspirasi baru, aku juga
mendapat pelajaran baru, dari cara menyelesaikan masalah dari kehidupan
sehari-hari secara nyata dan memang benar ternyata, orang yang suka membaca
novel akan cenderung bisa menyelesaikan masalahnya sendiri tanpa minta pendapat
orang lain, karena sudah terbiasa berkutat pada pemikiran-pemikiran yang rumit
dari novel.
“Wah
ada yang seneng nih, tadi ketemu mas Galih di aksi”, goda masku ini disela-sela
obrolan kami. Sesekali angin memainkan jilbabku.
“aah..
mamas”, akupun tersipu malu.
“Ya,
mamas sih gak papa kalo adek suka sama mas Galih, menurut mas itu wajar, bahkan
gak ada salahnya, tapi ingat bahwa mas Galih itu bukan sembarang ikhwan, jadi
adek harus hati-hati, jangan sampai adek malah kecewa nantinya”, jelas mas
Yusuf.
“maksud
mas, dia sudah punya pacar?”, tanyaku penuh selidik.
“Hus
ngawur!! (sambil menjitak kepalaku dan langsung mengusapnya dengan sayang), dia
mah gak pacaran dek, tapi mas Galih itu orangnya sholeh banget, dia tuh
memandang cinta hanya pada Allah semata. Memang banyak akhwat yang suka
dengannya, bukan hanya tampangnya yang gagah, cara bicaranya yang berwibawa
ataupun yang lainnya, namun karena ketegasan dan prinsip hidupnya yang kuatlah
yang membuat mas Galih tampil beda dek”, jelas masku panjang lebar, sambil
kusandarkan kepalaku dibahunya. Sore itu aku sedikit paham akan jalan pikiran
masku ini.
“Jadi
maksud mamas tadi apa?”, aku masih pura-pura bertanya.
“kau
memang polos Sa” rayu masku.
“Ayo
bilaaang” pintaku sambil mencubit pinggangnya, sesekali dia geli karna ulahku
yang suka iseng.
“Gini
dek, mas tau adek suka mas Galih, namun alangkah baiknya rasa itu adek simpan
dulu untuk saat ini, adek gak perlu berharap darinya, kalaupun jodoh pasti ketemu.
Oke, ingat dek, kita ikut organisasi ini untuk dakwah, bukan untuk ikut-ikutan
semata, apalagi hanya ingin bertemu seseorang tertentu saja. Mas harap adek
paham akan hal ini, karena mas sayang adek, hanya adeklah adek mas
satu-satunya, mas gak ingin adek sakit hati nantinya karena cinta semu semata”,
sambil mengusap bahuku, dan memandangku dari balik jilbabku. Aku hanya menunduk
malu dan merenungi apa yang terjadi padaku belakangan ini.
“astaghfirullah…”,
desisku.
“iya,
istighfar lagi sayang” pinta masku.
“asss…tagh,,firullah…”
tuntun masku lagi.
Butiran
hangat mengalir dipipiku.
“Allah
marah gak mas sama adek?”, tanyaku dengan mata sembab.
“Insyaallah
gak dek, asal adek gak akan mengulanginya lagi”, sambil tersenyum ke arahku.
“trimakasih
mas, adek janji gak akan lagi berharap pada cinta semu, cinta yang takkan
memberikan kejelasan pada akhirnya”
“Pinteeerr…”,
sambil merangkulku.
Aku
hanya bisa tersenyum dengan lelehan air mata, ternyata bukan cinta yang seperti
yang aku bayangkan, namun cinta yang nantinya bertemu denagn sang Rabb yang
kunantikan, cinta yang takkan pernah tergantikan sampai berakhirnya zaman, dan
aku yakin bahwa Allah sudah menyiapkan jodoh untukku, meski bukan mas Galih, ya
meski bukan mas Galih, namun Galih dan
Galih yang lain.
Simpul bulan sabit tertutup awan
sore dari barat membuatku tersenyum, semua ini lucu, rasa yang aneh batinku.
( caswitin_Pend. Bahasa Indonesia 2010_Staff KASTRAT)
0 komentar:
Posting Komentar