Senin, 01 Oktober 2012

Galih yang lain

“Aksi,,, lagi lagi aksi..huh bete”, grutuku
“ Katanya aktivis, kok kepanasan aja dah nyerah”, pancing mas Yusuf disampingku.
“Gak ketemu mas Galih tadi”, sambil kumanyunkan bibirku sebagai ungkapan kekecewaanku.
“Itu sih niatnya belum jelas, makanya lurusin niat dulu, biar kegiatan yang kita lakukan tambah berkah, kalo gini kan kamu malah capek sendiri yang didapat, apalagi niat kamu Cuma ingin ketemu mas Galih, itu mah sudah keluar dari konteks kredo gerakan  adekku sayang…”, ceramahnya panjang lebar.
“Tau ah mas, pusing”, jawabku sambil ngeloyor pergi meninggalkan mas Yusuf sendirian di teras.
            Banyak yang bilang kini aku berubah, ya, aku kini berubah, bukan hanya mama dan papa yang bilang, tetapi mas Yusuf pun ikut mengomentari perubahanku ini. Bahkan teman-teman dikampus juga mengatakan demikian, terlebih lagi teman sekelasku.
“Kamu sekarang beda ya Sa?”, Tanya Anita sore itu.
“Kamu sekarang aktif banget ikut kegiatan, ajak-ajak dong Sa?”, komentar doni komting kelasku.
“Wah sekarang Sasa lagi kena virus merah jambu ya?”, celetuk Hana dan Ridwan bersamaan.
Aku hanya bisa nyengir kuda mendengar komentar mereka tanpa berkutik, hanya rona merah diwajah yang terlihat jelas.
“Apa sih, resek deh”, jawabku tiap kali digoda mereka.
            Entahlah apa yang ada di otakku sekarang, hanya galih pramilu itulah yang kian melekat di otakku. Bahkan bukan hanya namanya saja, ulasan senyum yang merekah kini tertancap dengan jelas di lubukku yang terdalam, sedalam ku tahan rasa ini.
Ya, aku gak mau ada orang lain yang tau tentang hal ini, biarkan hanya aku yang tau, bukankah ini kan lebuh baik, daripada aku harus mengumbarnya, tanpa kau tau perasaan mas Galih, “ya jelas lah Sa, gimana mas Galih mau mengumbar perasaannya, mas Galihkan terlahir dari tarbiah”, gumam hatiku lirih.
Setiap kali ada kegiatan aksi, akulah yang terjun kelapangan nomor satu, tidak lain tidak bukan, ya, aku hanya ingin melihat mas Galih. Meski hanya dengan melihat senyumnya dari kejauhan saja, itu sudah cukup bagiku.
Diteras, pukul 15.35
Selepas sholat jamah dengan mas Yusuf, seperti biasa kami habiskan untuk bercanda, sebagai adek satu-satunya aku memang dekat dengan masku, bahkan apa yang aku lakukan aku tak sungkan-sungkan untuk menceritakannya. Sering kami beda pendapat namun itu tak membuat aku dan mas Yusuf saling menjatuhkan satu sama yang lain, bahkan kami punya hobbi yang sama, yaitu membaca buku, namun ada hal yang membedakan dari konsumsi kami, ya, aku lebih suka membaca novel. Sedangkan mas Yusuf lebih ke bacaan.
Bagiku membaca novel itu menyenangkan, selain dapat ide dan inspirasi baru, aku juga mendapat pelajaran baru, dari cara menyelesaikan masalah dari kehidupan sehari-hari secara nyata dan memang benar ternyata, orang yang suka membaca novel akan cenderung bisa menyelesaikan masalahnya sendiri tanpa minta pendapat orang lain, karena sudah terbiasa berkutat pada pemikiran-pemikiran yang rumit dari novel.
“Wah ada yang seneng nih, tadi ketemu mas Galih di aksi”, goda masku ini disela-sela obrolan kami. Sesekali angin memainkan jilbabku.
“aah.. mamas”, akupun tersipu malu.
“Ya, mamas sih gak papa kalo adek suka sama mas Galih, menurut mas itu wajar, bahkan gak ada salahnya, tapi ingat bahwa mas Galih itu bukan sembarang ikhwan, jadi adek harus hati-hati, jangan sampai adek malah kecewa nantinya”, jelas mas Yusuf.
“maksud mas, dia sudah punya pacar?”, tanyaku penuh selidik.
“Hus ngawur!! (sambil menjitak kepalaku dan langsung mengusapnya dengan sayang), dia mah gak pacaran dek, tapi mas Galih itu orangnya sholeh banget, dia tuh memandang cinta hanya pada Allah semata. Memang banyak akhwat yang suka dengannya, bukan hanya tampangnya yang gagah, cara bicaranya yang berwibawa ataupun yang lainnya, namun karena ketegasan dan prinsip hidupnya yang kuatlah yang membuat mas Galih tampil beda dek”, jelas masku panjang lebar, sambil kusandarkan kepalaku dibahunya. Sore itu aku sedikit paham akan jalan pikiran masku ini.
“Jadi maksud mamas tadi apa?”, aku masih pura-pura bertanya.
“kau memang polos Sa” rayu masku.
“Ayo bilaaang” pintaku sambil mencubit pinggangnya, sesekali dia geli karna ulahku yang suka iseng.
“Gini dek, mas tau adek suka mas Galih, namun alangkah baiknya rasa itu adek simpan dulu untuk saat ini, adek gak perlu berharap darinya, kalaupun jodoh pasti ketemu. Oke, ingat dek, kita ikut organisasi ini untuk dakwah, bukan untuk ikut-ikutan semata, apalagi hanya ingin bertemu seseorang tertentu saja. Mas harap adek paham akan hal ini, karena mas sayang adek, hanya adeklah adek mas satu-satunya, mas gak ingin adek sakit hati nantinya karena cinta semu semata”, sambil mengusap bahuku, dan memandangku dari balik jilbabku. Aku hanya menunduk malu dan merenungi apa yang terjadi padaku belakangan ini.
“astaghfirullah…”, desisku.
“iya, istighfar lagi sayang” pinta masku.
“asss…tagh,,firullah…” tuntun masku lagi.
Butiran hangat mengalir dipipiku.
“Allah marah gak mas sama adek?”, tanyaku dengan mata sembab.
“Insyaallah gak dek, asal adek gak akan mengulanginya lagi”, sambil tersenyum ke arahku.
“trimakasih mas, adek janji gak akan lagi berharap pada cinta semu, cinta yang takkan memberikan kejelasan pada akhirnya”
“Pinteeerr…”, sambil merangkulku.
Aku hanya bisa tersenyum dengan lelehan air mata, ternyata bukan cinta yang seperti yang aku bayangkan, namun cinta yang nantinya bertemu denagn sang Rabb yang kunantikan, cinta yang takkan pernah tergantikan sampai berakhirnya zaman, dan aku yakin bahwa Allah sudah menyiapkan jodoh untukku, meski bukan mas Galih, ya meski bukan mas Galih, namun  Galih dan Galih yang lain.
            Simpul bulan sabit tertutup awan sore dari barat membuatku tersenyum, semua ini lucu, rasa yang aneh batinku.
( caswitin_Pend. Bahasa Indonesia 2010_Staff KASTRAT)

0 komentar:

Posting Komentar